Kamis, 06 Juli 2017

PEMIKIRAN MENURUT ARIS TOTELES

ARISTOTELES (384-322 SM) Aristoteles adalah seorang filsuf Yunani, murid dari Plato dan guru dari Alexander yang Agung. Ia menulis berbagai subyek yang berbeda, termasuk fisika, metafisika, puisi, logika, retorika, politik, pemerintahan, etnis, biologi dan zoologi. Bersama dengan Socrates dan Plato, ia dianggap menjadi seorang di antara tiga orang filsuf yang paling berpengaruh di pemikiran Barat. Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles bergabung menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. Saat Alexander berkuasa di tahun 336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam. Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Selanjutnya ia menyatakan bahwa bentuk materi yang sempurna, murni atau bentuk akhir, adalah apa yang dinyatakannya sebagai theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking). Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarki. Karena luasnya lingkup karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi. Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas di abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135 – 1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 – 1198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri. Teori Pengetahuan – rasionalisme. - Mengembangakn logika sebagai metode ilmu pengetahuan. - Berbeda dengan Plato, Aristoteles menganggap bahwa objek ilmu pengetahuan bukanlah dunia ide tetapi ”hubungan antara dunia ide dengan fenomena yang akan membentuk satu ilmu pengetahuan konseptual (rasional) yang mampu menjelaskan apa yang dirasa. - Aristoteles menggabungkan antara rasionalisme ilmiah Democitus dngan rasionalisme ontologis Plato – materialisme dengan idealisme. Ide-ide dan bentuk semata-mata hanya terdapat pada benda. - Logika menjadi makna dari hubungan yang umum (ide) atau sesuatu kepada yang khusus/ partikular (fenomena) yang ada dalam persepsi. - Tugas sains adalah memamerkan (mendemonstrasikan) pentingnya logika dengan pandangan (persepsi) yang lebih khusus mengikuti pandangan (konseptual) secara umum. - Mekanisme deduksi adalah silogisme, di mana dua proposisi diasumsikan benar dan yang ketiga sebagai kesimpulan. - Deduksi dapat menunjukkan prinsip-prinsip umum dalam partikular tetapi tidak membentuk prinsip-prinsip umum itu sendiri atau pengetahuan baru. - Aristoteles menggambarkan prinsip-prinsip umum dari partikular melalui induksi atau investigasi. - Investigasi dalam pemikiran aristoteles berproses dari partikular dalam persepsi... kepada umum yang di mana partikular dapat dibuktikan dan dijelaskan. - Aristoteles menghubungkan konsep investigasi – prinsip pertama – kepada realitas sebagai penyebab dari partikular. - Berbeda dengan sains kontemporer, sains Aristoteles memandang kepada yang umum atau penyebab metafisik dari sesuatu. - Induksi kontemporer non-Aristotelian hanya sampai pada kemungkinan ketimbang kepada prinsip-prinsip umum tertentu secara kebetulan; lebih bersifat pasti (certainity) ketimbang kemungkinan yang memberikan karakteristik pada sains Aristoteles dan teori ilmu pengetahuan. Teori realitas – teologi, Aristotelian, vitalisme. - Realitas adalah apa yang terbentang dalam fenomena; termasuk di dalamnya materi dan bentuk (form). - Materi adalah unsur yang membentuk sesuatu. - Bentuk adalah yang menyusun atau mengatur materi. - Materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan; di mana ada bentuk, di situ ada materi kecuali pada penyebab pertama – penggerak yang tak digerakkan – yang merupakan bentuk yang transeden. - Materi dan dan bentuk mencakup substansi; misalnya, sesnsi manusia adalah bentuk; aspek fisik dan psikologisnya merupakan materi. - Substansi (misalnya manusia) memiliki sifat-sifat atau keuniversalan, misalnya merah. - Keuniversalan hanya terdapat pada benda tertentu, berbeda dengan Plato. - Terdapat sepuluh kategori realitas, di mana substansi merupakan yang paling utama karena disematkan pada subjek dan tidak ada pada subjek itu; hanya substansilah yang disebut subjek; semua kategori yang lain; seperti kualitas dan kuantitas, mesti disematkan pada substansi. - Kategori-kategori tidak hanya menunjuk pada pemikiran dan bahasa tetapi juga pada realitas. - Materi dan bentuk saling terkait, seperti kayu rongsokan adalah bentuk dari kayu tetapi materi untuk rumah. - Materi memiliki potensi menjadi bentuk. - Bentuk adalah aktualisasi; biji adalah aktualisasi itu sendiri tetapi merupakan pontensial untuk menjadi pohon. - Aktualisasi atau proses menjadi merupakan hasil dari sebab. Sebab atau faktor pengubah adalah (1) material – keterbatasan materi; (2) formal (bentukan) – pola bentuk yang dibutuhkan; (3) efisien – daya yang menghasilkan perubahan; dan (4) final – akhir atau tujuan dari aktualisasi. Penyebab terakhir dari semua realitas adalah tak berubah, penggerak tak tergerak, dan murni sebagai bentuk. - Realitas bersifat abadi tetapi teleologis karena disebabkan potensialitas membutuhkan aktualitas dalam kecenderungan aktualisasi bentuk murni (nalar). Teori pikiran (jiwa dan etika) – fungsionalisme, eudemonisme. - Pikiran (jiwa) merupakan aktualisasi utama dari tubuh fisik yang dilengkapi kehidupan dan dalam hal ini ia adalah penglihatan yang ada pada mata. - Intelesi tubuh adalah sifat inheren dari tubuh. - Pikiran adalah yang menggerakkan tubuh menuju realisasi diri. - Kebijakan tertinggi adalah aktivitas yang diarahkan kepada realisasi diri dalam arti kegiatan aktif atau murni nalar. - Pencapaian realisasi diri menghasilkan eudemonia (kebaikan).

Selasa, 13 Juni 2017

Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan laut Prancis dan ibunya, Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari Charles Schweitzer,seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alasace. Diusianya yang ke tujuh belas Sartre lulus dari sekolah diploma elit dengan mendapat gelar baccalaureate. Pada tahun 1924 ia melanjutkan studinya di Ecole Normale Superieure dan menjadi profesor filsafat di Le Havre (1931-1933) kemudian selama setahun ia belajar di Berlin. Sekembalinya dari Berlin ia mengajar di Laon dan Paris. Di saat menempuh studi tersebut ia bertemu seorang mahasiswi yang kemudian menjadi teman hidupnya yaitu Simone de Beauvoir. Simone sendiri di kemudian hari menjadi penulis dan filsuf feminis yang terkenal.Perdebatan tentang manusia menjadi tema yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Manusia kerap dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang siapakah sejatinya dirinya? Apa sekiranya tujuan keberadaan mereka di dunia? Bagaimana seharusnya ia hidup sebagai manusia? Pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti ini telah banyak dikupas oleh para filsuf dari berbagai era dan aliran pemikiran filsafat. Jean-Paul Sartre (1905-1980) merupakan salah satu filsuf yang akrab menggelutinya, terutama dalam kerangka pemikiran eksistensialismenya. Jean Paul Sartre dalam pemikirannya banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger. Dari fenomenologi Husserl, Sartre melihat dua hal penting. Pertama, perlunya menempatkan kesadaran sebagai titik tolak untuk kegiatan-kegiatan atau penyelidikan-penyelidikan filsafat. Kedua, pentingnya filsafat untuk “kembali kepada realitasnya sendiri” (Zu den sachen selbst). Pemikiran Sartre lebih dekat dengan fenomenologi Heidegger di mana beberapa konsepsi Heidegger coba diambil alih dan dimodifikasi oleh Sartre. Dalam Saint Genet, Sartre merumuskan seluruh usaha filsafatnya dalam satu kalimat pendek yaitu “merekonsiliasikan (mendamaikan) subjek dan objek.” Usaha ini barangkali didorong oleh pengalaman fundamental Sartre tentang kebebasan (diri sebagai subjek) dan tentang benda (objek). Kedua pengalaman ini, menurut pandangan Sartre, merupakan simbol kondisi manusia yang (di satu pihak) menganggap dirinya sebagai makhluk bebas, tetapi (di lain pihak) selalu dihadapkan pada kuasa atau daya tarik benda. Dalam pandangan Sartre, pengalaman tentang kebebasan dan tentang kesadaran diri, bukanlah pengalaman yang mudah dan mengenakkan. Kebebasan dibebankan kepada kita oleh situasi yang tidak kita pilih, dan tanpa alternatif lain kita harus menerimanya begitu saja. Selain itu, kebebasan sangat rapuh dan selamanya berada dalam posisi yang rentan dan terancam sehingga tidak dapat diandalkan sebagai sandaran yang kokoh untuk hidup kita. Sartre juga menggagas kebebasan untuk menegaskan idealismenya. Menurutnya manusia adalah makhluk di mana eksistensi mendahului esensi, artinya manusia itu harus ‘berada’ terlebih dahulu baru kemudian menjadi ‘ada’. Konsep ini mengandaikan bahwa manusia itu pada awalnya adalah kosong dan tidak memiliki apa-apa. Tetapi, kekosongan itu kemudian diisi oleh kebebasannya untuk memilih. Untuk lebih jelas dalam menggambarkan hal tersebut dalam buku Filsafat Barat Kontemporer, K. Bertens menggambarkannya dengan sebuah gelas. Gelas yang biasanya kita gunakan sebagai alat atau benda untuk minum mempunyai ciri-ciri tertentu. Si tukang yang membikin gelas itu sebelumnya sudah tahu apa yang akan ia buat. Gambaran itu mau menunjukkan tentang esensi dari benda itu. Secara gamblang Sartre, dalam karyanya yang berjudul Existensialism and Humanism, membuat suatu konsep pandanganya tentang manusia. Konsep Manusia menurut Sartre Manusia adalah kebebasan yang mencipta secara total, maka ia menyempurnakan dirinya sendiri, ia adalah suatu rancangan untuk masa mendatang. Jadi, kodrat (esensi) manusia tidak mungkin ditentukan, tetapi adalah terbuka sama sekali. Jadi, eksistensi mendahului esensi manusia. Seandainya Tuhan ada, Ia akan merupakan identitas penuh dari Ada dan kesadaran, dari en-soi dan pour-soi. Manusia adalah kebebasan, kata Sartre. Dengan mengatakan ini Sartre mau memberikan sebuah penjelasan kepada manusia bahwa dirinya adalah kebebasan itu sendiri. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa manusia dapat didefinisikan sebagai kebebasan. Dengan mengatakan itu semua Sartre memberikan corak humanisme dalam pemikirannnya. Kebebasan bagi Sartre berarti menentukan sebuah pilihan dari sekian banyak pilihan yang lain. Manusia pada dasarnya bebas untuk mengadakan suatu pilihan atas jalan hidupnya sendiri tanpa harus didekte oleh orang lain. Kebebasan bukan berarti “lepas sama sekali” dari kewajiban dan beban. Menurut Sartre, kebebasan adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan tanggung jawab, dan tidak bisa dipisahkan.Kita bertanggungjawab atas keseluruhan eksitensi kita dan bahkan kita bertanggung jawab atas semua manusia, karena terus menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sendiri sekaligus kita juga memilih juga untuk semua orang. Eksistensi Mendahulaui Esensi Eksistensi mendahului esensi (Existence comes before Essence) merupakan salah satu konsep penting dalam bangunan eksistensialime Sartre. Apa yang dimaksud oleh Sartre dengan konsep ini? Sartre berupaya mengukuhkan subjektivitas manusia, dan di sisi lain menendang jauh-jauh keberadaan Tuhan dengan segala argumentasi prndukungnya. Subjektivitas manusia dan keberadaan Tuhan, menurutnya seperti berada pada polaritas yang berbeda dan saling meniadakan. Untuk mengukuhkan subjektivitasnya, manusia harus menyingkirkan Tuhan, karena subjektivitas tak pernah bertoleransi dengan segala bentuk determinisme. Untuk menjelaskan konsep eksistensi mendahului esensi, Sartre memulainya dengan memakai contoh pembuatan pisau kertas (paper-knife) oleh seorang artisan. Apa yang terlebih dahulu exist tentu bukan produk material pisau, tetapi segala konsep tentang pisau baik itu bentuk, cara pembuatan, maksud dan cara penggunannya. Konsep ini ada di dalam benak artisan sebagai pre-existent technique. Logika ini adalah logika esensi mendahului eksistensi, jalan berpikir yang tidak bisa dikenakan pada Tuhan yang secara de facto tidak bereksistensi. Ketika menyebut Tuhan sebagai Pencipta, sebetulnya kita sedang mengenakan pada Tuhan model kerja seorang artisan. Ketika menciptakan manusia, kita menganggap bahwa dalam benak Tuhan telah hinggap berbagai konsep tentang esensi manusia, entah kodrat manusia sebagai makhluk rasional, citra Tuhan, ens sociale, dan sebagainya. Konsep seperti inilah yang ditentang Sartre melalui eksistensialisme ateistiknya: “Oleh karena Tuhan tidak exist maka setidaknya ada satu makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelumnya dapat dibatasi oleh konsep-konsep tentang eksistensinya. Makhluk itu adalah manusia.” Dengan tesis inilah Sartre menegaskan hakikat manusia sebagai being yang eksistensinya ada sebelum esensinya. Di sisi lain, keberadaan Tuhan dibatasi oleh berbagai definisi manusia tentang eksistensinya sendiri. Artinya, Tuhan ada sejauh manusia mendefinisikannya atau tegasnya, Tuhan hanya merupakan ciptaan atau buah ‘peng-atribut-an’ oleh manusia saja. Sampai di sini, pertanyaan pokok yang diajukan adalah profil manusia macam manakah yang dimaksudkan Sartre dengan ‘manusia yang bereksistensi sebelum esensi?’ Pertama, Manusia sebagai ‘Adalah’. Eksistensi mendahului esensi berarti bahwa “manusia pertama-tama itu ada, menjumpai dirinya, mentas ke dalam dunia dan kemudian mendefinisikan siapa dirinya.” Manusia tidaklah menjadi apa-apa sebelum ia menjadi apa yang dikehendakinya sendiri untuk menjadi. Maksudnya adalah pada awal keberadaannya, manusia tidak mengenakan definisi apapun tentang dirinya. Sebagai makhluk yang bereksistensi sebelum esensi, manusia tidak terikat atau terbelenggu pada berbagai patokan definisi tentang dirinya. Humanisme Radikal Sartre juga mengemukakan konsepnya tentang humanisme. Humanisme dalam pandangan Sartre mempunyai karakter yang radikal. Sartre berusaha menyingkirkan sama sekali nilai-nilai yang sudah dibangun oleh kepercayaannya terhadap Tuhan, dan segala norma yang terkait dengannya. Hanya dengan begitu, setiap manusia dapat menemukan ruang untuk berkreasi menghasilkan nilai-nilai yang dialaminya dalam hidup. Dengan kata lain, penyingkiran Tuhan adalah satu-satunya cara tepat untuk memungkinkan manusia menghidupi individualitasnya. Itulah sebabnya dengan mengutip perkataan Dostoyevsky, Sartre berkata, “Jika Tuhan tidak ada, segala sesuatu akan menjadi mungkin.” Manusia akan lepas dari belenggu kebenaran-kebenaran yang dicerap dari luar, bebas dari beragam determinasi religius-etis dan menjadi tuan atas dirinya sendiri. Dengan konsep ini, humanisme Sartre sebetulnya berusaha menciptakan hakikat manusia sebagai makhluk yang bebas. Manusia menggenggam dalam tangannya sendiri kebebasan untuk menentukan hidupnya. Manusia selalu berupa aksi dan kreasi untuk merealisasikan diri. “Ia tidak dapat lain selain serangkaian tindakan dengan dirinya sebagai rangkaian, organisasi, sekumpulan relasi yang menetapkan tindakan-tindakan ini”, begitu kata Sartre. Menentang tuduhan para komunis, Sartre menampilkan model manusia eksistensialnya sebagai manusia yang tidak berkubang dalam ke-pasif-an, tetapi bergerak maju merealisasikan diri. Manusia seperti ini memiliki komitmen-diri (self-commitment) atas kehidupannya dan karena itu selalu melibatkan dirinya melalui pilihan tindakan-tindakan subyektifnya. Manusia dalam kosep pandangan Sartre memang bukan manusia yang sempurna. Kehadirannya selalu merupakan suatu proyek yang belum tuntas terselesaikan. Nilai dan makna dari kemanusiaan manusia senantiasa ditentukan oleh setiap pilihan yang dibuat dan komitmen yang dijalani. Sehingga berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi manusia yang sempurna. Namun sebenarnya, kesempurnaan terletak sepenuhnya pada kemauan manusia itu sendiri untuk menjadi sempurna. Tetapi dengan ini Sartre tidak memaksudkan pandangan humanisme tradisional yang menempatkan manusia sebagai tujuan dari dirinya sendiri atau manusia sebagai nilai tertinggi.

Jumat, 02 Juni 2017

Pemikiran Comte

Nama lengkap Auguste Comte adalah Isidore Auguste Marie Francois Xavier. Beliau adalah filsuf dan ilmuwan sosial terkemuka yang sangat berjasa dalam perkembangan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi, Comte lahir di kota Montpellier di Prancis selatan, 17 Januari 1798-meninggal di Paris, perancis 5 September 1857 pada umur 59 tahun, dari keluarga kelas menengah konservatif. Comte menerima didikan ilmah yang baik di Ecole Polythecnique, di Paris, sebuah pusat pendidikan berhaluan liberal. Comte mencetuskan suatu sistem ilmiah yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan baru, yaitu sosiologi.
Auguste Comte dengan bukunya “Course de Philosophie Positive” menerangkan bahwa pendekatan-pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat harus melalui uruta-urutan tertentu yang kemudian akan sampai pada tahap akhir yaitu tahap ilmiah. Sejarah umat manusia ditentukan oleh pertumbuhan dari pemikiran manusia. Tahap-tahap perkembangan (berpikir) manusia dibagi menjadi tiga, yaitu: tahap Teologis, tahap Metafisis, dan tahap Positif.
  1. Tahap Teologis Merupakan tahap paling awal dalam perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia berpikir bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa yang disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia. Tahap ini dijumpai pada manusia purba, di mana alam semesta dimengerti sebagai keseluruhan yang integral dan terdiri dari makhluk-makhluk yang mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan mereka. Keseluruhan alam semesta ini dihayati sebagai sesuatu yang hidup, berjiwa, berkemauan, dan bertindak sendiri. Dalam periode ini dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu :
    1.Fetisisme, yaitu bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. 2.Politheisme, muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya atau gejala alam. 3.Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme. 
  1. Tahap Metafisik Pada prinsipinya hanya merupakan pengembangan dari tahap teologis. Perbedaan kedua cara berpikir tersebut adalah pada tahap ini manusia mulai mencari pengertian dan bukti-bukti logis yang meyakinkannya tentang sesuatu dengan konsep-konsep abstrak dan metafisik. Manusia seringkali percaya bahwa Tuhan adalah makhluk abstrak, dan bahwa kekuatan atau kekuasaan abstrak itu menunjukkan dan menentukan setiap kejadian di dunia.
  2. Tahap Positifistik Disebut juga tahap ilmu pengetahuan, karena dalam tahap ini manusia sudah mampu berpikir secara ilmiah. Pada tahap ini gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan observasi, percobaan, dan perbandingan yang terbukti dan dapat dipertanggungjawabkan. Hukum-hukum yang ditemukan dengan cara demikian bersifat praktis dan bermanfaat, karena dengan mengetahui dan menguasai hukum-hukum tersebut kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala atau kejadian tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan di masa depan yang lebih baik. Menurut Comte, positivisme adalah cara intelektual memandang dunia yang merupakan perilaku tertinggi dan paling berkembang dalam kehidupan manusia.
Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
    1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta 2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup 3. Metode ini berusaha ke arah kepastian 4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan Bagaimanapun Comte sadar bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus menerus sekalipun tidak merupakan jalan lurus. Tiga tahap berpikir tersebut mungkin hidup berdampingan dalam masyarakat yang sama walau mungkin tidak selalu berurutan. Misalnya, ketika seorang masih berpikir secara metafisik atau teologis, berarti ia masih berpikiran primitif walaupun hidup di zaman modern. Perkembangan intelektual (berpikir) berlaku bagi manusia, baik sebagai kelompok masyarakat, maupun sebagai indvidu.

Kamis, 18 Mei 2017

Pemikiran Nietzsche

Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht). Latar Belakang Filosofi Nietzsche Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, wilayah Sachsen pada tanggal 15 Oktober 1844. Dia lahir dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang saleh. Ayahnya adalah seorang pendeta Lutheran yang meninggal pada saat dia berumur 5 tahun. Dan dia sendiri diproyeksikan mengikuti jejak ayah, paman dan kakeknya untuk menjadi pendeta. Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gymnasium di kota Naumburg, namun empat tahun kmudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama. Lutheran di kota Pforta. Di sanalah dia membaca karya banyak sastrawan dan pemikir besar. Selain itu dia juga tertarik dengan kebudayaan Yunani Kuno. Dia meneruskan studinya di Universitas Bonn pada tahun 1864 bersama teman-temannya dari Pforta. Tahun 1965, dia belajar filologi di Leipzig. Dia kembali lagi ke Leipzig dan belajar lagi. Pada inilah dia berteman dengan Richard Wagner, komponis Jerman yang nantinya akan berpengaruh banyak pada kehidupan Nietzsche. Persahabatan itulah yang kemudian berpengaruh pada periode pertama riwayat intelektualnya. Pada periode itu, bersama temannya dia berkutat pada pemikiran mengenai kelahiran kembali seni Yunani Kuno. Dia memilih untuk menjadi seorang ateis. Di masa itu jugalah hubungan dengan Wagner semakin memburuk. Dia merasa diperalat demi kemahsyuran Wagner. Terlebih karena Wagner kemudian menjadi Kristen. Kemudian dimulailah periode intelektual Nietzsche yang kedua. Periode ini menghasilkan beberapa karya. Yang disebut periode ketiga adalah di mana ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam berfilsafat. Selama periode inilah, dia sakit-sakitan dan kesepian. Dia mengalami ketegangan mental. Nietzsche terobsesi untuk selalu menyanjung dirinya. Pada bulan Januari 1889, Nietzsche menjadi gila. Dia banyak mengaku sebagai orang-orang terkenal dari Ferdinand De Lesseps, arsitek terusan Suez, sampai bahkan mengaku sebagai “yang tersalib”. Dia meninggal dunia di dalam kesepiannya di Weimar pada tanggal 25 Agustus 1900 karena Pneumonia. Cara penyampaian filsafatnya yang menggunakan teknik sastra menjadi hal yang baru di dalam dunia filsafat yang selama ini selalu memakai obyektivitas,dan kebakuann bahasa sebagai hal yang utama. Bagi Nietzsche kebenaran yang bersifat jamak hanya bisa tersampaikan lewat sastra. Artinya, penafsiran akan suatu kebenaran akan selalu plural tidak pernah tunggal. Amat penting untuk disampaikan di sini tentang pemikiran dasar Nietzsche mengenai Tuhan. Nietzsche memahami Tuhan seperti mimpi. Ketika kita tidur dan bermimpi, kita seperti berada di dalam dunia nyata yang ternyata hanya mimpi. Seperti demikianlah mengenai Tuhan. Manusia tidak mampu membedakan antara kenyataan yang sebenarnya dengan kenyataan yang hanya merupakan bayang-bayang. Jika dicoba untuk mengartikannya, Nietzsche menganggap Tuhan hanya proyeksi dari keterbatasan manusia yang merindukan sebuah kekuatan yang tidak terbatas. Arti Kematian Tuhan Tuhan sudah mati, demikian ungkapan Nietzsche yang terkenal. Dengan diberikannya konsep “mati” di dalam Tuhan, Nietzsche ingin mengatakan bahwa keberadaan Tuhan tergantung pada sintetis. Tuhan menjadi argumen yang dapat dipertanggungjawabkan hanya terkait dengan waktu, menjadi, sejarah, dan manusia. Oleh sebab itulah, Nietzsche memberikan konsep kematian di dalam argumennya tentang Tuhan. Dengan kematian Tuhan, Nietzsche kemudian mengajukan konsep kelahiran Tuhan baru. Jika Tuhan mati, manusialah yang menjadi Tuhan. Yang kedua, kesadaran Yahudi menginginkan Tuhan yang lebih universal. Dengan matinya Tuhan di kayu salib, Tuhan tidak tampak lagi keyahudiannya. Arti ketiga dari kematian Tuhan berkaitan dengan agama Kristiani. Nietzsche mengartikan lain teologi St. Paulus. Teologi Paulus yang banyak dijadikan dasar ajaran kristiani adalah pemalsuan besar-besaran. Inilah moralitas budak yang dikritik Nietzsche. Budak bertindak bukan atas dasar dirinya sendiri melainkan ketakutan akan tuannya. Tindakannya selalu didasarkan pada perintah tuannya. Bertindak sendiri akan menyangkal kodratnya dan dianggap sebagai kesalahan. Berbeda dengan moralitas budak, moralitas tuan merupakan sikap yang sebaliknya. Moralitas tuan tidak mewujudkan apa yang seharusnya dilakukan tetapi apa yang senyatanya dilakukan.Moralitas tuan menghargai dirinya sendiri. Mereka selalu yakin, perbuatannya baik. Ubermensch dan Moralitas Tuan-Budak Dengan tidak adanya kehadiran Tuhan di dalam hidup kita. Nietzsche menginginkan kita hidup bukan sebagai budak yang takut akan tuannya melainkan menjadi tuan itu sendiri. Untuk kesempurnannya, Nietzsche memakai istilah Ubermensch. Ubermensch di sini tidak dimaksudkan sama dengan superman yang berkonotasi stagnan melainkan memakai istilah overman, yang berkelanjutan dan di dalam proses menjadi. Ubermensch adalah istilah yang terdapat di dalam buku Also Sprach Zarathustra. Di dalam Bahasa Indonesia, mengikuti istilah yang dipakai oleh Budi Hardiman, Ubermensch diartikan dengan kata “manusia atas”. Manusia atas adalah manusia yang unggul yang lebih dari manusia lainnnya. Bagi Nietzsche, kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang membuat manusia-manusianya maju dan menjadi unggul. Sedangkan kebudayaan yang menganjurkan sikap durschnittlich (tengah-tangah/rata-rata) hanya akan menghilangkan bakat-bakat individu dan menjadikannya kawanan. Manusia atas adalah suatu proses terus menerus dan belum pernah ada yang bisa mencapainya. Kawanan ini adalah kerumunan massa. Mereka adalah sarana untuk mencapai tujuan bukan tujuan itu sendiri. Manusia adalah sarana untuk mencapai manusia atas. Kehendak Berkuasa Manusia atas selalu berhubungan dengan suatu tujuan-tujuan; kehendak untuk berkuasa (Will to power). Kehendak berkuasa adalah hakekat segala sesuatu, termasuk di dalam pengetahuan. Bukan saja manusia atas, melainkan juga semua manusia. Akan tetapi tujuan manusia atas tidak pernah mengacu pada hal lain selain dirinya sendiri. Kehendak berkuasa harus secara tegas melampaui manusia. Pemikiran ini adalah cara bagi Nietzsche untuk menyingkirkan moralitas dan menggantinya dengan konsep Ubermensch di mana manusia atas selalu bertindak murni dari dirinya sendiri. Sekilas tampak bahwa manusia atas adalah manusia egois yang mengabaikan manusia lain. Tetapi Nietzsche tidak sependapat. Menurut Nietzsche, manusia atas tidak pernah mendominasi yang lain atau mengorbankan yang lain secara biologis maupun politis.[19] Nietzsche menyebut hasrat kekuasaan yang salah sebagai “setan kekuasaan” atau “ hasrat fanatis akan kekuasaan. Pengertian yang ditekankan Nietzsche dari kehendak berkuasa adalah lebih merupakan suatu kualitas kehendak. Hal itu adalah suatu kedalaman eksistensial demi mentransendenkan diri sendiri. Manusia harus berusaha habis-habisan mencapai tujuannya. Dan itu tidak menggunakan insting tetapi dengan penguasaan diri yang penuh Filsafat Nietzsche banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh yang ia kagumi dan para filsuf sebelum dirinya. Selain itu, Filsafatnya juga dipengaruhi oleh unsur filologis yang berisi tentang Yunani. Hal ini dikarenakan oleh ketertarikannya terhadap filologi yang bercerita tentang legenda-legenda Yunani. Dan juga Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan.

Minggu, 16 April 2017

Ajaran-ajaran filsafat Arthur Schopenhauer

        Arthur Schopenhauer adalah seorang bangsawan dengan bergelimang harta yang diwarisi oleh ayahnya yang telah meninggal dunia, hidupnya sangatlah kesepian dia menjauh dari dunia ramai dan menjadi pribadi yang suka menyendiri, meskipun dia memiliki banyak harta dia tetap bekrja dan melanjutkan usaha orang tuannya tidak mau mengandalkan dan hidup berfoya-foya akan harta yang dimiliki. Dia hidup dengan ketakutan kerena dia merasa terancam, maka dia sering tidur dengan pistol di sampingnya. Arthur Schopenhauer sempat menjadi mahasiswa setelah itu dia sempat menjadi dosen, Namun, hanya lima orang yang berminat mengikuti kuliahnya dan dia pun dikeluarkan dari akademi tersebut. Disamping itu sisi lain kehidupan Arthur Schopenhauer banyak masalah yang dihadapi setelah kematian ayahnya mulai dari bisnis keluarga yang dia teruskan sampai masalah percintaannya dengan beberapa wanita dan pernikahannya yang selalu gagal menajadi pemicu Arthur Schopenhauer tidak percaya kepada wanita bahkan dia menganggap wanita membawa masalah dalam kehidupannya dan dia harus menjauh dari wanita agar dia tidak mendapatkan masalah dalam hidupnya.

        Dia menganggap hidup dengan banyak orang memuakkan dan membuang waktu baginya. Ia menhina dan mengejek Kaum wanita sebagai “para karikatur Terlebih lagi dia beranggapan kalau ibunya sudah melupakan ayahnya yang sudah meninggal. Di akhir hidupnya setelah dia meninggal barulah buku-buku yang ia tulis laris dipasaran, sebelum dia wafat buku yang dia rilis tidak laku.

Dasar Pemikiran Schopenhauer
        Filsafat Arthur Schopenhauer hadir sebagai suatu reaksi terhadap filsafat Hegel. Dalam Hegel masih ditemui suatu optimisme asional; segala ‘Ada’ akhirnya bersifat rasional, bermakna dan dapat dimengerti. Schopenhauer berbeda dalam hal rasionalitas dan kebermaknaan Ada tersebut; dasar ada tidak lagi rasional,melainkan irasional, dan tidak berbentuk kesadaran melainkan ketidaksadaran. Karya utama Schopenhauer, yang membuatnya terkenal, “Die Welt als Wille und Vorstellung” Dunia sebagai Kehendak dan Presentasi) bermula dengan penilaian tentang hakekat dan batas-batas pemahaman, tetapi tidak dengan pernyataan-pernyataan dogmatis tentang prinsip-prinsip metafisika.
        Seperti Kant, Schopenhauer berpendapat bahwa rasio tidak dapat mengetahui ‘benda dalam dirinya sendiri’ (das Ding an sich), namun kita memiliki jalan lain menuju realitas, yang tidak bersifat intelektual, yakni lewat ‘Kehendak’ (will). Bagi Schopenhauer, Kehendak adalah kategori metafisika yang paling mendasar, akar dari segala yang kita anggap ‘nyata’ (fenomenal).
         Menurutnya, hanya dalam tindakan-tindakan Kehendak itulah kita dapat merealisasikan diri sendiri sebagai mahkluk yang punya eksistensi. Jadi, Kehendak adalah realitas transendental, artinya realitas noumenal, realitas di belakang fenomena atau pengalaman yang kita rasakan. Realitas pada hakikatnya berupa Kehendak. Di belakang dunia pengalaman kita terdapat Kehendak transendental itu. Yang kita tangkap adalah fenomena, yang berupa ‘gejala’ atau dalam bahasa Arthur Schopenhauer, ide/presentasi/bayangan (Vorstellung) dari Kehendak transendental itu. Dunia adalah Kehendak dan bayangan (imajinasi); Kehendak adalah realitas noumenal, sedangkan bayang-bayang adalah manifestasinya di alam fenomenal.
       Ajaran Filsafat Arthur Schopenhauer merupakan salah satu filsuf yang memberikan ide tentang filsafat seni/estetika yang berpengaruh pada abad ke-18. Dalam perkembangan filsafat, Arthur Schopenhauer dipengaruhi dengan kuat oleh Imanuel Kant dan juga pandangan Buddha. Pemikiran Kant nampak di dalam pandangan Schopenhauer tentang dunia sebagai ide dan kehendak. Arthur Schopenhauer mengembangkan pemikiran Immanuel Kant tersebut dengan menyatakan bahwa benda pada dirinya sendiri itu bisa diketahui, yakni "kehendak". Filsafat Schopenhauer hadir sebagai suatu reaksi terhadap filsafat Hegel.
         Filsafat Arthur Schopenhauer hadir sebagai suatu reaksi terhadap filsafat Hegel. Dalam Hegel masih ditemui suatu optimisme rasional; segala 'Ada' akhirnya bersifat rasional, bermakna dan dapat dimengerti. Schopenhauer berbeda dalam hal rasionalitas dan kebermaknaan Ada tersebut; dasar ada tidak lagi rasional, melainkan irasional, dan tidak berbentuk kesadaran melainkan ketidaksadaran. Karya utama Arthur Schopenhauer, yang membuatnya terkenal, “Die Welt als Wille und Vorstellung” (Dunia sebagai Kehendak dan Presentasi) bermula dengan penilaian tentang hakekat dan batas-batas pemahaman, tetapi tidak dengan pernyataan-pernyataan dogmatis tentang prinsip-prinsip metafisika. Ia mempengaruhi beberapa filsuf dengan pemikirannya. Bahkan, Hittler mengaguminya. Menurut Arthur Schopenhauer, dunia ini adalah representasi ide atau pemikiran kita. Realitas adalah kehendak itu sendiri. Akan tetapi, kehendak itulah sumber penderitaan manusia.
         Untuk melepaskan diri dari penderitaan, menurut Arthur Schopenhauer, kita harus menghilangkan kehendak egoistik, menyerah kepada kosmik, dan menolong sebanyak mungkin orang. Arthur Schopenhauer mempunyai sebuah undang-undang yang kuat.  Pemikiran Arthur Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Buddha dan paham filsafat Imanuel Kant. Kekagumannya kepada keduanya itu amat besar. Hal ini terlihat dari ruang kerjanya dipasang dengan kedua patung tokoh tersebut. Pemikiran Arthur Schopenhauer berikut ini, antara lain:
  1. Dunia Sebagai Ide/Gambaran Arthur Schopenhauer melihat dirinya sebagai bocah yang merevolusi Kant’s Copernican, sendirian membawa proyek masternya ke kesimpulan logika. Kant mempunyai argumen bahwa ada sebuah epistemic distingsi di antara dunia yang telah kita alami, dunia yang kelihatannya, dan dunia yang sebenarnya. Kita semua ide atau representasi. “Dunia adalah representasi saya,” tulis Arthur Schopenhauer. Arthur Schopenhauer membuka buku The World as Will and Representation-nya dengan kalimat, “The World is my idea”. Menurut Arthur Schopenhauer, benda yang dapat kita kenal adalah gambaran representasinya.
  2. Kehendak Hidup Menurut Arthur Schopenhauer, ada dua aspek : di luar, yakni representasi, dan di dalam, yakni kehendak. Dunia adalah gambaran/kehendak. Kehendak adalah esensi dari kehidupan ini, kita hanya dapat mengenal dunia sesuai penampilannya kepada kita. Untuk dapat mengenal dunia, kita tidak mempunyai jalan masuk ke sana. Hanya ada satu pintu dan pintu itu adalah kehendak. Menurut Arthur Schopenhauer, kehendak itu bisa dimanifestasikan sebagai tubuh kita. Jadi, kita melihat representas dunia dengan tubuh kita. Sebelum kita melangkah kepada pembahasan yang lebih jauh, terlebih dahulu kita melihat apa yang melatar belakangi pemikiran tersebut.
  3. Keselamatan dari Penderitaan Eksistensi Bagi Arthur Schopenhauer, realitas adalah kehendak itu sendiri spiritual, bukan material-tetapi kehendak adalah penderitaan. Manusia terus-menerus berkehendak, terus berpindah dari kehendak satu ke kehendak yang lain. Menurut Schopenhauer, jalan keselamatan adalah Hindu. Penolakan terhadap nafsu, menghilangkan kehendak, membebaskan manusia dari ilusi dan penderitaan. Solusi dari permasalahan penderitaan ini adalah menghilangkan egoistis kehendak dan menyerah kepada kosmik. Estetika yang dikemukakan oleh Arthur Schopenhauer merupakan jalan keluar dari penderitaan, walaupun sifatnya hanya sementara. Penderitaan dalam hidup bisa disembuhkan oleh seni. Manusia yang hidup dalam keadaan patologis, dapat diangkat oleh keindahan seni. Arthur Schopenhauer menyebut seni-seni yang dapat mengatasi problem ini, seperti arsitektur, seni lukis, seni pahat atau patung, puisi dan musik. Dan, ia sangat meninggikan seni musik dalam filsafat Kehendaknya. Musik menjadi puncak dari segala bentuk seni yang lain.
  4. Moralitas Menurut Arthur Schopenhauer, pada dasarnya manusia itu egois. Egoisme itulah yang melahirkan penderitaan. Untuk menghilangkan penderitaan itulah manusia harus melepaskan egoismenya, melepaskan diri dari kehendak, dan jalan moralitas adalah salah satu jalan pelepasan kehendak. Manusia harus melepaskan egoismenya dan menolong orang sebanyak yang dia mampu. Tampaknya Schopenhauer sangat terpengaruh oleh agama Hindu.
  5. Arthur Schopenhauer, Seks, dan Psikoanalisis Bagi Arthur Schopenhauer, seks adalah “penegasan terhadap kehendak yang paling kuat. Itu kehendak hidupnya yang final dan tujuannya yang paling tinggi”. Oleh karena itu Arthur Schopenhauer memandang kelamin sebagai “fokus yang riil dalam kehendak”.
  6. Keputusan dan Hukuman Arthur Schopenhauer menjelaskan seseorang yang hendak mengambil keputusan. Menurut dia, ketika kita mengambil keputusan, kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat. Oleh sebab itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar. Keputusan-keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya. Pemilih itu harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah keputusan. Segala tindakan yang dilakukan seseorang merupakan kebutuhan dan tanggung jawabnya. Pemikiran khas Arthur Schopenhauer dalam estetika: Musik sebagai seni tertinggi Musik sebagai Seni Tertinggi Menurut Schopenhauer, musik itu berdiri sendiri, berbeda dari seni-seni yang lainnya. Seni-seni yang lain mengulangi atau menyalin ide tentang eksistensi. Arthur Schopenhauer menyatakan bahwa seni-seni yang lain merupakan ungkapan dari Kehendak, sedangkan musik adalah Kehendak itu sendiri. Musik memiliki pengaruh yang sangat kuat pada inti kodrat manusia. Oleh karena itu, musik dimengerti dalam kesadaran sebagai ‘bahasa universal’.

Jumat, 07 April 2017

Pemikiran Rene Decartes

Teori Utama Rene Decartes
Menurut Rene Descartes, dia merasa akan dapat berpikir lebih luas bilamana ia berpikir berdasarkan metode yang rasionalistis untuk menganalisis gejala alam. Dengan pemikiran yang rasionalistis itu, orang mampu menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berguna seperti ilmu dan teknologi.

Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu, baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada pertanyaan; bagaimana kita mendapatkan pengetahuan yang benar tersebut.

Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.:
  –     Pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio.
  –     kedua mendasarkan diri kepada pengalaman.

Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam  penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia memikirkannya.
Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasionil itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional.

Descartes meneliti suatu metode berpikir yang umum yang akan memberikan pertalian dan pengetahuan dan menuju kebenaran dalam ilmu-ilmu. Penelitian itu mengantarnya ke matematika, yang ia simpulkan sebagai sarana pengembangan kebenaran di segala bidang. Karya matematikanya yang paling berpengaruh ialah La Geometrie, yang diterbitkan pada tahun 1637. Pengembangan kalkulus tidak mungkin tercapai tanpa dia.

 Ada lima ide Descartes yang punya pengaruh penting terhadap jalan pikiran Eropa:
  1. Pandangan mekanisnya mengenai alam semesta.
  2. Sikapnya yang positif terhadap penjajahan ilmiah.
  3. Tekanan yang diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan.
  4. Pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptic.
  5. Penitik pusatan perhatian terhadap epistemology.
    Teori tentang etika Descartes
Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran

    Cogito ergo sum.
Segala sesuatu perlu dipelajari, tetapi diperluakn metode yang tepat untuk mempelajarinya.
Rene Descartes pun berfikir demikian, ia mengatakan bahwa mempelari filsafat membutuhkan metode tersendiri agr hasilnya benar- benar logis. Ia sendiri mendapatkan metode yang di carinya itu, yaitu dengan menyaksikan segala-galanya atau menerapkan metode keragu-raguan, artinya kesangsian keradu-raguan ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimilik.
 Rene Descartes memiliki pokok-pokok pikiran dalam filsafat, antara lain:
    1. Cogito Ergo Sum
     Ia berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Untuk menemukan basis yang kuat dalam filsafat, ia meragukan terlebih dahulu segala sesuatu yang diragukan dan ia menyimpulkan bahwa 3 pengetahuan dapat diragukan, yaitu:
  • Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi dapat diragukan. Contoh: memasukkan kayu lurus ke dalam air, kayu tersebut tampak bengkok.
  • Fakta umum tentang dunia. Contoh: api itu panas, benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descartes menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari sana kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut.
  • Logika dan matematika, prinsip-prinsip logika dan matematika juga dapat diragukan. Contoh: bagaimana jika ada suatu makhluk yang berkuasa memasukkan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita berada dalam suatu matriks.
 Berdasarkan keraguan tersebut, Descartes mengeluarkan pendapat yaitu cogito ergo sum (aku berfikir, maka aku ada).

    Manusia
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua sebstansi, yaitu jiwa dan tubuh.
Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa.
Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis.
Akan tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.
     
    Substansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran.
Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.

Pemikirannya membuat sebuah revolusi falsafi di Eropa karena pendakatan pemikirannya bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa seseorang bisa berfikir. Ini juga membuktikan keterbatasan manusia dalam berfikir dan mengakui sesuatu yang di luar kemampuan pemikiran manusia. Karena itu, ia membedakan "fikiran" dan "fisik". Pada akhirnya, kita mengakui keberadaan kita karena adanya alam fikir.
Dalam bahasa Latin kalimat ini adalah: cogito ergo sum sedangkan dalam bahasa Perancis adalah: Je pense donc je suis. Keduanya artinya adalah:
    "Aku berpikir maka aku ada". (Ing: I think, therefore I am) Atau, I think, therefore I exist.


Ira Febra Sariiranoerjoy@gmail.com
    
 
PSI114 - Filsafat Manusia 1039-Mulyo Wiharto Seksi 10 Blogger Template by Ipietoon Blogger Template